Sketsaindonesia.id, JAKARTA – Pemerintah diminta bersikap tegas dan konsisten dalam menyusun kebijakan yang berkaitan dengan sektor strategis guna melindungi kepentingan nasional. Dengan demikian, ancaman, tantangan, gangguan, dan hambatan untuk mencapai cita-cita negara sebagaimana dalam amanat pembukaan UUD 1945 dapat diatasi. Ahli Hukum dan Kebijakan Publik, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Kris Wijoyo Soepandji menjelaskan masa depan bangsa Indonesia ditentukan oleh perlindungan sektor-sektor strategis. Oleh karenanya, perumusan kebijakan yang berkaitan dengan sektor strategis harus berpihak dan mendukung kepentingan nasional. “Dalam kebijakan hukum, kepentingan nasional, itu yang paling utama. Tugas hukum tujuannya menciptakan harmoni di masyarakat, jangan sampai sebaliknya,” ungkap Kris dalam acara Webinar Pancasila Membangun Manusia, Bangsa, dan Dunia di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), dikutip Minggu (19/6/2022).
Kris menyebutkan sektor-sektor strategis yang berkontribusi besar pada negara, seperti sektor pertambangan, perikanan, pertanian dan perkebunan yang di antaranya gula, kelapa sawit, serta tembakau seringkali mendapat tekanan dari beberapa pihak. Menurutnya, perlu dicari solusi atas polemik terhadap perumusan kebijakan di sektor tersebut yang mengakomodir kepentingan semua pihak yang terlibat. Jangan sampai, lanjut Kris, pemerintah hanya mendengarkan suara dari satu pihak yang memiliki kepentingan tertentu. “Gula adalah komoditi yang penting, tapi sekarang jadi (dianggap) bahaya bagi kesehatan dan punya (dampak) adiksi yang besar. Pertanyaannya, apakah mungkin gula dihilangkan? Kelapa sawit juga mengganggu alam, tapi gimana caranya agar tidak mengganggu alam namun tetap memberi nafkah para petani? Itu yang harus dicari (solusinya). Masalah cengkeh dan tembakau dikatakan merusak kesehatan. Itu betul, tapi bagaimana (dengan nasib) orang yang hidup di sana, seperti petani?” Tanya Kris.
Menanggapi hal ini, lanjut Kris, dibutuhkan internalisasi nilai-nilai Pancasila dalam proses perumusan kebijakan agar produk hukum yang dibuat dapat merepresentasikan kepentingan nasional dan menciptakan harmoni pada tatanan masyarakat. Menurut Kris, faktor hukum dan etika (legal and ethical advantages) adalah faktor penentu yang dapat memenangkan persaingan global di masa depan. “Pertarungan masa depan itu tak lain tak bukan adalah legal and ethical advantage. Kalau Pancasila itu dikecilkan nilainya, itu bagian dari kekalahan secara legal,” kata dosen tetap FH-UI ini.
Peneliti Pusat Kajian Hukum dan Pancasila FH-UI, Bono Budi Priambodo, menjelaskan seharusnya hubungan antara pemerintah dengan masyarakat bersifat dua arah sehingga dalam proses perumusan kebijakan, pemerintah harus melibatkan masyarakat yang memiliki kepentingan. Menurut Bono, regulasi harus dibuat atas dasar kepentingan semua pihak. “Pengaturan ini adalah masalah bersama. Harusnya sama-sama duduk bareng, membicarakan kepentingan masing-masing, menemukan kesamaan tujuan yang ingin dicapai. Ini yang disebut smart regulation,” ujar Bono. Pelibatan masyarakat atau stakeholders terkait perumusan kebijakan, menurut Bono, merupakan implementasi nilai Pancasila yang seharusnya menjadi budaya bangsa Indonesia, yaitu musyawarah untuk mendapatkan hasil yang mufakat. “Musyawarah adalah kebalikan dari voting. Berbagai pendapat harus dipertimbangkan untuk mencapai solusi bersama dan menghasilkan suatu mufakat,” katanya.
Menurut Bono, dalam pengambilan keputusan, hasil musyawarah harus menerapkan prinsip keterbukaan dan tidak memaksakan kehendak. Dalam hal ini, proses musyawarah akan menciptakan sinergi yang positif antara pemerintah dan masyarakat sehingga cita-cita bangsa dapat dicapai sebagaimana mengacu pada Pancasila.(*)